Rabu, 06 Januari 2010

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR PADA RUMAH TRADISIONAL SUKUN SUNDA - JAWA BARAT

Suku Sunda merupakan salah satu suku yang menempati wilayah propinsi jawa barat. Daerah yang didiami oleh suku Sunda disebut tatar sunda atau tanah pasundan. Suku Sunda merupakan salah satu suku yang sebagian besar penduduknya mendiami daerah Jawa Barat, dan bertetangga dengan beberapa suku lainnya sepeti Banten, Cirebon, serta suku Badui. Keberadaan suku Sunda di daerah Jawa Barat hingga saat ini masih menjadi sebuah misteri bagi para peneliti. Hal ini disebabkan karena tidak adanya cerita – cerita yang dapat dijadikan sumber untuk mengungkap asal usul suku ini.

Berpindah dari asal usul mengenai suku Sunda, maka dalam makalah ini akan diulas tentang arsitektur rumah tradisional dari suku Sunda yang tidak pernah mengalami perubahan dari sisi strukturnya, walaupun di sekitar daerah yang didami oleh masyarakat suku Sunda kini telah berdiri bangunan – bagunan megah yang memperlihatkan keindahan sebagai salah satu hasil dari arsitektur modern.

RUMAH TRADISIONAL

Secara umum rumah tradisional Sunda merupakan sebuah rumah panggung sama seperti rumah – rumah tradisional lainnya yang ada di Indonesia. Bentuk rumah panggung ini bertujuan untuk menghindari masalah – masalah dari lingkungan yang bisa mengancam penghuninya.

Dilihat berdasarkan bentuk atapnya, maka rumah tradisional Sunda terbagi atas beberapa ciri yang berbeda satu dengan yang lainnya:


KETERANGAN

1. Jolopong (sebutan untuk rumah dengan atap pelana yang betuknya memanjang)
2. Perahu Kumureb (sebutan untuk rumah dengan bentuk atap perisai “oleh masyarakat sunda, disebud perahu kumureb karena bentuk atap seperti perahu terbalik”).
3. Julang Ngapak (dikarenakan bentuk atapnya seperti sayap burung yang sedang terbang).
4. Badak Heuay (dikarenakan bentuk atapnya seperti seekor badak yang sedang membuka mulutnya).
5. Tagog Anjing (dikarenakan bentuk atapnya seperi seekor anjing yang sedang duduk).
6. Capit Gunting (dikarenakan bagian atas atapnya yang saling menyilang berbentuk gunting).


PONDASI

Bentuk pondasi rumah tradisional Sunda mirip dengan pondasi umpak yang dipakai untuk rumah – rumah tradisional jaman sekarang. Perbedaan yang dapat dilihat dari pondasi rumah tradisional Sunda dengan pondasi umpak yang sering dipakai sekarang adalah bentuk pondas yang unik yaitu kolom bangunan hanya diletakan di atas sebuah batu datar yang sudah terbentuk di alam. Tujuan pembuatan pondasi seperti ini adalah untuk menghindari keretakan atau pada kolom bangunan pada saat terjadi gempa, sedangkan bentuk lantai panggung bertujuan untu memungkinkan sirkulasi udara dari bawah lantai dapat berjalan baik, sehingga kemungkinan terjadi kelembaban pada lantai bangunan dapat dihindari.


Pondasi Tradisional

LANTAI
Lantai rumah tradisional Sunda terbuat dari pelupuh (bamboo yang sudah dibelah). Alasan pembuatan lantai dari pelupuh adalah seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu agar udara yang melewati kolong rumah dapat masuk ke ruang – ruang, selain itu dengan mengunakan lantai bambu, tingkat kelembaban di dalam rumah jugah akan berkurang, mengingat ketinggian lantai rumah tradisional Sunda tidak seperti rumah tradisional lain pada umumnya yaitu berkisar antara 50 – 60 meter dari permukaan tanah.

Detail Hubungan Struktur Lantai


Detail Balok Penahan Lantai


Struktur Lantai dan Detail


Tinggi Lantai dari Muka Tanah

DINDING, PINTU dan JENDELA

Dinding, pintu, dan jendela memungkinkan udara dapat melewatinya. Dinding bangunan terbuat dari anyaman bambu yang dapat dilewati udara, jendela yang selalu terbuka dan hanya ditutupi kisi-kisi bambu maka udara dapat bebas masuk dalam ruangan, sehingga suhu didalam ruangan tidak panas.

Dinding yang ringan terbuat dari anyaman bambu yang dapat menyerap dan mencegah terjadinya panas akibat radiasi matahari sore hari. Selain itu material dinding yang terbuat dari anyaman bambu memungkinkan udara untuk masuk ke dalam rumah


Material Dinding


Konstruksi Dinding dan Detail

Selain itu ada juga pintu dan jendela yang mempunyai daun pintu dan daun jendela tunggal. Materialnya terbuat dari kisi – kisi bambu yang dapat ditembus oleh udara, hal ini membuat suasana di dalam rumah tetap nyaman


Jenis Pintu dan Jendela

PLAFON

Plafon selain sebagai penghias langit – langit rumah juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan barang. Kerangka plafon terbuat dari susunan bambu bulat, dan di atasnya diletakan pelupuh sebagai bahan penutup plafon.



Bentuk dan Material Plafon

ATAP

Atap sebagai mahkota dari sebuah bangunan mempunyai fungsi untuk melindungi penghuni yang berada di dalamnya. Atap dari rumah Sunda terbuat dari ijuk, alasan pemilihan ijuk sebagai material atap karena ijuk merupakan material yang dapat menyerap panas dengan baik sehingga tidak menimbulkan suasana gerah di dalam rumah. Tritisan pada sisi depan rumah mempunyai panjang 2 meter. Hal ini membuat dinding bangunan tidak langsung terkena cahaya matahari sehingga dinding sebagai penyekat tidak panas dan ruang di dalamnya tetap dingin. Selain itu ada juga sisi yang disebut sebagai bidang atap terbuat dari anyaman bambu dan berfungsi sebagai ventilasi atap


Tritisan


Bidang Atap


Bahan Penutup Atap


Struktur Atap dan Detail

LETAK dan ORIENTASI



Rumah tradisional sunda mempunyai tata letak yang sangat rapi hal ini merupakan pengaruh dari kepercayaan masyarakat bahhwa rumah tidak boleh menghadap ke bumi (rumah) adat, dengan demikian orientasi dari rumah tradisional sunda selau mengarah ke timur dan barat

POLA KAMPUNG TRADISIONAL


Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo :
1. Rumah Kuncen
2. Rumah Adat
3. Rumah Adat
4. Rumah Adat
5. Rumah Adat
6. Rumah Adat
7. Mesjid Kampung Pulo

Senin, 04 Januari 2010

ARSITEKTONIK

NAMA : FRANS Y PELAMONIA
NPM : 20308052
KELAS : 2 TB 01
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

ARSITEKTONIK

Arsitektur pada dasarnya adalah merupakan produk jaman. Oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur sebenarnya terkait erat dengan segala upaya penafsiran/pemahaman terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur tersebut terhadap jamannya. Pembacaan wujud arsitektur sebagai teks harus juga dipahami dalam konteksnya sebagai perwujudan dari jamannya. dan akan memiliki perbedaan yang jelas, seperti bagaimana wujud arsitektur di suatu era mengalami perubahan yang memang terasa, bukan hanya dari sisi visual tapi juga makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, dengan melihat teks dan konteks kondisi perwujudan arsitektur sangat dipengaruhi sekali oleh jaman, seperti:
-Pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam penciptaan arsitektur yang setiap jamannya berbeda-beda satu sama lain.
-Terbentuknya arsitektur yang bermakna, yang terkait dengan warisan jaman.
-Wujud arsitektur tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan jaman tetap dapat terlihat.
-Keberadaan arsitektur yang memiliki unsur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistik di dalam suatu jaman yang melatarbelakangi terbentuknya wujud arsitektur.
Dapat disimpulkan bahwa perwujudan arsitektur yang dihasilkan dalam rentang jaman akan selalu memiliki karakteristik yang khas walaupun saling mempengaruhi satu sama lain. Kondisi ini dibuktikan oleh adanya proses kritik ketika pada suatu jaman mengalami sebuah kebosanan yang akut dan mengharuskan terjadinya proses kritik. Hal ini pernah diulas dalam jurnal L’Esprit Nouveau oleh Le Corbusier dan Ozenfant bahwa untuk memunculkan bentuk baru kita harus dapat melihat sisi lemah dari bentuk lama lalu memperbaikinya.
Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai masa munculnya tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon), sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.
Perkembangan budaya dan teknologi terjadi sangat pesat di era ini,ditandai oleh terjadinya revolusi industri di Inggris sekitar pada abad ke-19. Perkembangan ini juga mempengaruhi arsitektur yaitu dengan munculnya era arsitektur modern. Revolusi industri yang terjadi di inggris juga mempunyai dampak yang sangat positif yaitu para ahli mulai berlomba untuk mencipatakan berbagai bentuk ilmu dan pengetahuan yang nantinya di gunakan untuk memajukan seni, budaya serta pengetahuan masyarakat pada saat itu. Hasilnya, terjadilah penemuan – penemuan yang hingga sekarang ini terus digunakan oleh manusia, salah satu dari penemuan tersebut adalah penemuan berbagai teknologi bahan dan teknologi konstruksi untuk kepentingan produksi massal. Juga penemuan mekanika modern elevator sehingga bangunan bisa dipanjangkan ke atas mencakar langit. Selain arah selera estetika ditujukan pada kelas sosial ke bawah, teknologi juga dihayati efek bentuknya, sedangkan rasionalisme arsitektonik mulai pula dijelajahi. Awal perkembangan arsitektonik dimulai ketika munculnya berbagi jenis ukiran yang menghiasi hampir seluruh dinding bangunan pada saat itu. Namun di lain sisi Ornamen mulai dipercayai oleh Adolf Loos sebagai wujud kejahatan arsitektural karena tempelan dari ukiran dianggap sebagai kebenaran yang palsu. Maka konsep modernisme memang semakin mengkristal ke arah rasionalisme dan fungsionalisme yang digali dari era pencerahan (Aufklarung).
Fungsionalisme akhirnya menjadi tujuan akhir dari era ini. Filosofis “bentuk mengikuti fungsi” yang dicetuskan oleh Louis Sullivan di Chicago menjadi doktrin yang sangat disukai. Pernyataan “less is more” oleh Mies van der Rohe, menjadi sebuah manifesto yang sangat pas dengan logika industri bangunan, bahwa estetika arsitektur harus berdasarkan prinsip itu.
Dalam perkembangan dan penerapan prinsip arsitektonik dalam unsur – unsur bangunan, maka lahirlah prinsip lain dari arsitektonik seperti:
1. Ada ruang dan objek – objek arsitektural yang memiliki arti abstrak, simbolik, dan budaya sebagai monumen. Bentuk – bentuk ini dapat dirancang tanpa bergantung pada fungsi dan konstruksi, namun perancangannya lebih mengutamakan prinsip – prinsip estetika.
2. Dalam bangunan, seni membuat indah, dan hal ini memerlukan beberapa trik – trik sederhana untuk menghasilkan bentuk yang indah.
3. Dimensi puitik yang sering dinyatakan oleh Le Corbusier, haruslah dimengeti metoda – metoda rasionalnya oleh seorang arsitek agar ia dapat mencapai dimensi – dimensi dari estetik tersebud.
4. Pertimbangan – pertimbangan umum mengenai sekuen fungsi berdasrkan kebutuhan – kebutuhan program desain tertentu, pemilihan jenis konstruksi dan bahan yang sesuai.
5. Adanya keputusan – keputusan yang tepat mengenai pola – pola geometri mana yang harus diikuti oleh tataletak arsitektural.
6. Bentuk – bentuk geometri yang digambar di atas kertas merupakan bagian – bagian yang digabungkan dan hal itu perli dirasakan dalam bentuk dua dimensi sebelum diproyeksikan ke atas dan dikordinasikan
Sedangakan dari sisi dan bentuk arsitektonik, terdapat elemen – elemen dasar yang beraturan atau geometri dan yang tidak beraturan atau kacau, atau campuran dari kedua jenis itu diantaranya ada titik, garis, bidang, isi, ruang eksterior, ruang interior.
Untuk titik, garis dan bidang, mudahnya merupakan manipulasi nilai – nilai cahaya dan warna.
Untuk benda padat ada, bentuk – bentuk dasar seperti silinder, bola, kerucut, kubus, piramid atau karang acak yang dapat melambangkan bentuk tidak beraturan, dan benda padat heterogen yang terbuat dari berbagai figurasi.Sedangkan untuk ruang dalam, dapat memiliki hubungan langsung dengan bentuk eksteriornya.
Dari tradisi modern kemudian lahir sebuah pemahaman yang mencari otentisitas dari arah manifesto arsitektur modern yaitu gerakan avant garde. Di era ini arsitektur modern, arsitektur tradisional, dan klasik adalah representasi dan simbol dari penindasan yang dilakukan baik oleh feodalisme maupun totalitarianisme arsitokrasi. Dalam era arsitektur avant garde, seluruh tuntutan fungsionalisme modern secara teknis harus dapat dirumuskan terlebih dahulu ke dalam program arsitektur baru. Program menyimpan aksi-aksi dan rasionalitas ini yang kemudian membimbing lahirnya tipe-tipe rancangan arsitektur baru. Pada tahun 1980, Paulo Portoghesi, Charles Jencks dan kawan-kawan berhasil mengorganisir biennale arsitektur dengan tema”kekinian masa lalu” di sebuah arsenal tua di Venezia. Disusul oleh pameran keliling “revisi atas yang modern : arsitektur postmodern 1960-1985” yang diselenggarakan oleh Heinrich Klotz. Kedua pertunjukan itu menunjukkan terjadinya perubahan besar dalam arsitektur selama dua dekade terakhir. Di sana terlihat hilangnya formalisme kesederhanaan yang universal-internasional ini. Bentuk yang muncul dalam era ini selain terpecah-pecah juga sering tak beraturan,diisi oleh rincian dekoratif dan ornamental yang terasa alusif (merupakan referensi tak langsung). Tradisi telah disambung kembali walaupun tak persis sama.
Robert Venturi di dalam bukunya yang berjudul Complexity and Contradiction in Architecture mencela arsitektur modern yang baik dalam praktek maupun akademis didominasi oleh Meisianisme: “less is more”. Venturi mengkritisi Mies sebagai ”penyederhana besar” dan mengubah doktrinnya dari “less is more” menjadi “less is bore”. Venturi berkeyakinan bahwa arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsi ( ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang monovokal).
Pengertian arsitektonik:
1. Struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun.
2. Hal yang berhubungan , selaras atau menyesuaikan dengan kaidah arsitektural.
3. Dari atau berhubungan dengan arsitektur atau desain
4. Memiliki kualitas, seperti desain dan struktur, yang merupakan ciri khas arsitektur: sebuah karya seni arsitektonis membentuk keseluruhan.
5. Dari atau berhubungan dengan sistematisasi pengetahuan ilmiah.
6. Desain struktural yang menyatukan sesuatu bentuk
7. Sistem struktur

Referensi
Sumarjo, J. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.
Siswanto, A. (1994). Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme: Postmodernisme dalam Arsitektur dan Desain Kota. Postmodernisme di Sekitar Kita. Kalam, (1): 32.
Zacky, A. ( 1991). Architecture Francaise. Yogyakarta: Intermedia.
Solomon, R dan Higgins, K. (1996). Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.
www.google.com

www.wikipedia.com

www.archipedy.com

www.answer.com